Oleh : Muladi Mugheni, Ph.D – Ketua Umum Pengurus Wilayah Khusus MES Pakistan
Jakarta tengah bersiap menjadi kota global (global city). Hal ini merupakan sebuah tuntutan pasca nantinya tidak lagi menyandang status Ibu Kota negara. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara mengamanatkan perlunya mengganti UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Rapat Paripurna (Selasa, 5/12/2023), DPR RI mengesahkan RUU tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi usul inisiatif DPR.
Meski proses politik meningkatkan RUU ini menjadi Undang-undang masih berlangsung, yang pasti dalam jangka panjang, Jakarta masih sebagai ‘ibu kota’ keuangan Indonesia. Juga menjadi simpul bagi produksi dan distribusi logistik, barang dan jasa, termasuk ekspor dan impornya. Namun upaya persiapan untuk mengarahkan Jakarta menjadi kota global yang kompetitif sekaligus pusat perekonomian nasional, telah dimulai baik di tingkat lembaga/instansi terkait juga melibatkan stakeholder nasional maupun internasional. Status kota global menjadi cita-cita setiap negara di dunia dengan segala tantangan yang dimiliki. Ke depan, menurut para ahli tata kota, Jakarta tidak hanya menjadi pusat peradaban nasional, namun sebagai kota cerdas yang menjadi titik temu segala kegiatan internasional dan terbuka untuk semua.
Kota Global dan Tantangan yang Dihadapi
Tantangan mewujudkan Jakarta sebagai kota global tidak sedikit. Paling tidak beberapa hal harus dilakukan oleh sebuah kota untuk memenuhi 12 syarat sebagai kota global meliputi: infrastruktur yang berkualitas, pusat keuangan dan perbankan, kepemimpinan politik yang kuat, kehadiran bisnis dan industri, pendidikan dan penelitian berkualitas, budaya dan kreativitas, keragaman dan kosmopolitanisme, pusat perdagangan dan pariwisata, keamanan dan kestabilan, inovasi dan teknologi, konektivitas global, dan kualitas hidup yang tinggi.
Berbagai usulan dirumuskan semisal yang dikemukakan oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta dengan menyiapkan titik kawasan tematik yang berpotensi mewujudkan 12 syarat kota global dimaksud. Di antara titik kawasan yang mengemuka misalnya, pusat Ibu Kota ASEAN di Blok M. Pusat pendidikan di Grogol hingga Tanjung Duren. Pusat kesehatan dan kebudayaan di RSCM Salemba, RS Cikini dan TIM. Pusat transit hub di UKI, TNI AU, Kodam Jaya, PGC, Pool TJ. Pusat transit hub di Dukuh Atas hingga Kebon Melati. Pusat transit hub di Velodrome hingga Manggarai. Pusat kebudayan keagamaan di Pasar Baru, GKJ Kantor Pos, Lapangan Banteng, Istiqlal, dan Katedral. Pusat sejarah kota di Harmoni, Glodok, dan Kota Tua. Pusat olahraga terpadu atau MICE di JIS, Sunter, Ancol. Dan pusat olahraga terpadu di GBK Senayan.
Melihat usulan di atas, tentu kita masih memerlukan perluasan cakupan area termasuk konten yang sejatinya menjadi ruh dari pada kota global tersebut. Sebagai perbandingan kota global ciamik yang telah ada di negara maju misalnya New York City, AS sebagai pusat keuangan dan bisnis internasional. London sebagai pusat keuangan internasional, teknologi, budaya, dan politik. Tokyo sebagai pusat keuangan, bisnis, teknologi, dan budaya di kawasan Asia-Pasifik. Hong Kong sebagai pusat perdagangan internasional, keuangan, dan bisnis di Asia Timur.
Singapura sebagai pusat keuangan di Asia, infrastruktur yang canggih, dan hubungan perdagangan internasional yang luas. Paris sebagai pusat budaya internasional dan juga memiliki peran yang signifikan dalam perdagangan, keuangan, dan pariwisata internasional. Jika kita menganggap bahwa sejumlah negara di atas terkategori negara maju, kita dapat pula menengok kepada negara berkembang yang telah lebih dahulu berproses mewujudkan beberapa wilayahnya sebagai kota global. Sebut saja Shanghai, Mumbai, São Paulo-Brasil, Dubai, Kuala Lumpur, Istanbul dan Bangkok.
Kota Global dan Urgensi Pengawal Etika Komunal yang Inklusif
Kota global membawa aspek kemajuan dan modernitas yang otomatis mendorong perubahan yang cepat dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma sosial. Dalam menghadapi perubahan ini, penting untuk mempertahankan kesiapan dalam pengawalan akidah dan etika komunal yang inklusif. Dalam suasana modernitas yang cepat, ada risiko bagi budaya dan agama untuk terpinggirkan atau terdistorsi. Dengan memperkuat pengawalan akidah dan etika komunal yang inklusif, kita dapat mengantisipasi nilai nilai inti budaya dan agama dipertahankan dengan baik.
Kesiapan dalam pengawalan akidah dan etika komunal yang inklusif membantu mencegah konflik dan pertentangan antara kelompok yang berbeda. Hal ini menciptakan lingkungan yang harmonis di mana beragam keyakinan dan kepercayaan dapat hidup berdampingan secara damai. Etika komunal yang inklusif mendorong kerja sama, toleransi, dan empati antara anggota masyarakat. Ini juga membentuk dasar untuk kehidupan bermasyarakat yang sehat dan harmonis. Kita juga dapat menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pembangunan kota global yang berkelanjutan. Dan yang tak kalah pentingnya bahwa kemajuan infrastruktur, modernitas, dan ekonomi tersebut selaras dengan nilai-nilai etik kemanusiaan universal yang mendasar seperti keadilan, kesetaraan, dan keberagaman.
Di sinilah peran dari pada organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam seperti MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lainnya untuk mengawal etika komunial yang inklusif
sekaligus menyesuaikan/revisi arah pemikiran dan pergerakan yang tidak boleh business as usual.
Ormas Islam bervisi Kota Global
Sebagai langkah futuristik yang harus diperkuat oleh ormas Islam bervisi kota global misalnya; penyesuaian misi amar ma’ruf nahyi munkar dengan nilai-nilai universal, seperti toleransi, keragaman, keadilan, kemerdekaan, dan perdamaian. Hal ini membantu membangun kesamaan pemahaman dan mempromosikan kerja sama antarkelompok masyarakat dalam konteks global. Fokus pada isu-isu global yang relevan seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, kemiskinan global, penjajahan, dan perdamaian dunia.
Hal ini membantu meningkatkan kontribusi ormas dalam menciptakan perubahan positif di tingkat global. Kerja sama internasional dengan organisasi serupa di negara-negara lain untuk bertukar pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya dalam menangani isu-isu global. Penggunaan teknologi dan komunikasi digital, termasuk bahasa internasional untuk meningkatkan visibilitas dan pengaruh di tingkat global. Pendidikan dan advokasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu global dan pentingnya kerja sama lintas batas dalam menyelesaikannya misal melalui seminar, lokakarya, kampanye publik, dan kegiatan lainnya. Serta partisipasi dalam forum Internasional untuk memperjuangkan agenda nasional sekaligus memengaruhi kebijakan di tingkat global.
Sejalan dengan visi global di atas yang mendesak pula digiatkan ormas adalah penguatan relasi dan persahabatan internasional guna mempertajam diplomasi wajah Islam Nusantara yang
moderat, rasional, dan mendukung modernitas berbasis nilai etika universal. Dengan merencanakan dan melaksanakan program-program ini, ormas Islam, Insya Allah, dapat memainkan peran yang lebih efektif dan bermakna dalam mendukung umat dan masyarakat luas di tengah perubahan dinamis Jakarta sebagai kota global dan pusat perekonomian nasional.
*Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Kolom Hikmah Detik pada Senin, 04 Maret 2024. Direpublikasi untuk tujuan pembelajaran.
Sumber foto: Kompas.id