Membangun dan Mengembangkan Model Kelembagaan Industri Halal yang Sesuai dengan Karakter Indonesia

Membangun dan Mengembangkan Model Kelembagaan Industri Halal yang Sesuai dengan Karakter Indonesia

Oleh: Yudi Ahmad Faisal, Ph.D. (Pengurus Pusat MES – Ketua Pusat Studi Manajemen dan Bisnis FEB Universitas Padjadjaran – Wakil Ketua Bidang Pengembangan Ekonomi Islam dan Industri Halal Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung – Wakil Ketua Asosiasi Dosen Ekonomi Syariah (Adesy)) 

Konsep Klaster Halal (Halal Cluster) menjadi penting dalam satu dekade terakhir sebagai salah satu strategi pengembangan ekonomi syariah sektor riil Indonesia. Meskipun demikian, implementasi dan operasionalisasi konsep klaster tersebut secara praktis masih menjadi isu kompleks terutama yang berkaitan dengan fondasi teoritis dan konseptual, tujuan pengembangan klaster halal, dan bentuk dukungan kelembagaan yang sesuai dengan karakter Indonesia.

Pengembangan kawasan kuliner halal di Indonesia masih berorientasi praktis dan belum didukung oleh basis teori dan konsep yang jelas dan terukur. Istilah kawasan halal seringkali digunakan sebagai sebuah upaya praktis dalam mendorong perkembangan ekonomi syariah terutama sektor riil. Berbagai upaya didorong untuk pengembangan industri halal dengan berbagai karateristik geografis menuju sistem halal yang terintegrasi.

Kawasan kuliner halal, misalnya, seringkali dikaitkan dengan layanan dan penyajian makanan dan minuman berkualitas tinggi tersertifikasi halal. Tidak jarang kawasan halal dikaitkan dengan usaha-usaha yang mendedikasikan kepada produksi dan distribusi makanan dan minuman halal termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan upaya untuk scale-up UMKM tersebut. Kawasan halal pun seringkali dihubungkan sebagai hub untuk melayani berbagai segmentasi pasar muslim yang memiliki preferensi, permintaan, dan karateristik yang khas.

Secara empiris, dapat diidentifikasi dua pendekatan pengembangan kawasan halal. Pertama, pengembangan kawasan halal berbasis industri secara unorganik yang bersifat top-down, di mana otoritas terkait menginisiasi sebuah kawasan halal terintegrasi melalui pengelolaan secara khusus. Model ini secara praktis cukup dikenal terutama karena didukung oleh otoritas terkait.

Berita terkait  KDEKS Banten Resmikan Zona KHAS

Beberapa kawasan industri telah diarahkan untuk memiliki klaster halal model pertama ini, misalnya diantaranya adalah Batamindo Industrial Park – Batam Kepulauan Riau, Bintan Inti Industrial  Estate – Kepulauan Riau, JIE Pulogadung – DKI Jakarta, Kawasan Industri Surya Borneo – Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Safe n Lock Halal Industrial Park – Sidoarjo Jawa Timur, dan modern Cikande Industrial Estate Serang Banten.[1]

Kedua, pengembangan kawasan halal yang bersifat organik melalui ekosistem dalam komunitas-komunitas di Indonesia yang telah ada dan telah menjadi bagian dari kearifan lokal. Model kedua ini bersifat bottom-up, di mana pengembangan kawasan halal didasarkan pada keunggulan dan keunikan yang ada di kawasan-kawasan tersebut dengan keragaman ekosistem pendukungnya. 

Pengembangan klaster halal model kedua ini belum banyak dikaji secara luas namun sudah mulai dikembangkan oleh Komite Manufaktur dan Produk Halal Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah (PP MES) di Kampung Kauman Solo, Jawa Tengah. Pada Februari 2022, kampung ini dijadikan sebagai Kawasan Kuliner Halal berbasis Ekosistem dan Kearifan Lokal. Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Kota Solo”, memiliki budaya yang unik dan luhur termasuk tradisi kuliner. Kampung ini secara historis adalah supplier kuliner keraton.

Kampung Kauman memiliki berbagai organisasi yang menggiatkan ekonomi, sosial, budaya, dan dakwah keagamaan, di antaranya Paguyuban Wisata Kampung Batik Kauman, Koperasi Sarikat Dagang Kauman, Yayasan Masjid Agung, dan Pengusaha Muda Kauman (PEMUKA), dan lainnya. Pengembangan Kawasan Kuliner Halal di Kampung Kauman ini memiliki keunggulan kearifan lokal tersendiri sehingga berpotensi menjadi brand pengembangan klaster kuliner halal berbasis ekosistem dan kearifan lokal di tingkat nasional.

Berita terkait  Bijak Menghadapi Kemudahan Transaksi di Era Digital

Secara teoritis, pengembangan kawasan halal di tanah air dapat dikoneksikan dengan teori klaster (cluster). Istilah klaster mulai dipopulerkan oleh Michael Porter (1998) dalam sebuah makalah berjudul Clusters and the New Economics of Competition. Porter mendefinisikan klaster sebagai pengelompokan usaha yang saling berhubungan secara geografis dan institusi terkait dalam bidang tertentu, dihubungkan oleh kesamaan, dan saling melengkapi (complementary) baik secara horizontal maupun vertikal, dan berfungsi sangat penting bagi persaingan (competition).

Dari definisi tersebut, klaster dikaitkan dengan upaya untuk meningkatkan daya saing. Klaster ini terbentuk dari adanya feeling of togetherness atau perasaan kebersamaan dari para pelaku usaha yang ada dalam sebuah lokasi geografis tertentu. Para pelaku usaha bekerja sama dalam proses produksi hingga distribusi sehingga mencapai efisiensi dan efektivitas ekonomi secara kolektif. Yang menarik, karakter dari klaster ini disampaikan dalam Rakor Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) Jawa Tengah tahun 2011, bahwa keberadaan klaster dapat “menciptakan efisiensi kolektif berdasarkan kearifan lokal guna mencapai kesejahteraan masyarakat”. Terdapat unsur kearifan lokal (local wisdom) sebagai unsur pembentuk klaster dan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Unsur-unsur inilah yang dapat dikembangkan menjadi salah satu strategi pengembangan industri halal dalam konteks ke-Indonesia-an termasuk yang sedang dikembangkan oleh Komite Manufaktur dan Produk Halal PP MES di Kampung Kauman Solo. (Bersambung ke tulisan selanjutnya).

(Tulisan 1 dari 3 Tulisan Bersambung)


[1] Sumber: https://www.antaranews.com/infografik/1845316/membangun-kawasan-industri-halal-indonesia

Related Posts
Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *