Jalan Terjal Korea Selatan Menuju Samudera Biru Industri Halal

Jalan Terjal Korea Selatan Menuju Samudera Biru Industri Halal

Oleh : Muhammad Musafak – Ketua Umum PWK MES Korea Selatan Periode 2021-2023

Korea Selatan telah sukses secara global melalui industri hiburan dan teknologi. Gelombang Korea (Hallyu) telah meningkatkan citra negara ini di dunia. Kekuatan “Soft Power” dari popularitas K-pop, K-drama, dan film memperluas pengaruh Korea Selatan dan menciptakan peluang baru. Namun, tantangan muncul ketika negara ini beralih menuju “Samudera Biru” industri halal.

Kata “Samudera Biru” merujuk pada pernyataan Lee Yong Jik, kepala divisi ekspor makanan di Kementerian Pertanian, Pangan, dan Urusan Pedesaan (MAFRA) kepada Al-Jazeera. The halal food market is a blue ocean with great potential for growth, bahwa pasar makanan halal diibaratkan sebagai sebuah samudera biru yang memiliki potensi pertumbuhan yang besar.

Keterlibatan Korea Selatan dalam industri halal dimulai pada era Presiden Park Geun-hye. Pada Maret 2015, Kementerian Pertanian, Pangan, dan Urusan Pedesaan (MAFRA) mendirikan Divisi Halal (yang kini sudah tidak ada) untuk mengembangkan Nota Kesepahaman (MoU) dengan pemerintah UAE. Divisi ini bertujuan mempromosikan kebijakan halal lokal dan mengekspor makanan bersertifikat halal produk Korea ke negara-negara Islam.

Pemerintah mengalokasikan KRW 9,5 miliar (setara dengan USD 8,4 juta) sebagai modal mendirikan rumah potong hewan untuk memproses daging halal, mengembangkan standar halal, mendanai perusahaan makanan Korea Selatan yang memproduksi dan mengekspor ke pasar Islam, dan melakukan pengembangan penelitian (Research and Development) yang menargetkan pasar halal global.

Keputusan Korea Selatan untuk mengembangkan industri halal sebagai strategi diversifikasi ekonomi dan peningkatan ekspor didorong oleh dua hal utama. Pertama, memburuknya hubungan politik dengan Tiongkok akibat krisis THAAD (Terminal High Altitude Area Defense). Sistem pertahanan misil ini digunakan pemerintah Korea Selatan sebagai instrumen pertahanan terhadap provokasi militer Korea Utara pada tahun 2016.

Namun Tiongkok menganggap THAAD buatan Amerika ini bisa mengancam stabilitas regional. Tiongkok lalu menanggapinya dengan kebijakan yang menghambat perdagangan Korea Selatan. Sebagai respon, Pers Korea Selatan mendesak adanya pergeseran paradigma dari Pasar Tiongkok ke pasar Muslim sebagai tujuan ekspor baru, dengan menggunakan retorika pasar Muslim sebagai “Alternative Post-Chinese Market” (Pasar Alternatif Pasca-Tiongkok).

Kedua, peningkatan populasi Muslim dan munculnya konsumerisme yang berorientasi nilai pada kalangan pekerja dan pelajar Muslim migran di Korea Selatan, telah menciptakan segmen konsumen baru. Hal ini terjadi sejalan dengan pengamatan pasar global atas pertumbuhan konsumerisme Islam sejak tahun 2000-an. Segmen konsumen baru ini cenderung mengekspresikan religiusitas mereka melalui pola konsumsi.

Konsumerisme Islam ini menunjukkan adanya kompatibilitas antara dogma agama dan konsumerisme modern di berbagai sektor, termasuk makanan, kosmetik, fesyen, farmasi, keuangan, media, wisata, hingga logistik. Munculnya konsumen Muslim sebagai segmen kuat menciptakan ceruk pasar baru. Setidaknya ada tiga klaster halal yang saat ini dirintis oleh Korea Selatan; makanan, kosmetik, dan wisata.

Berita terkait  Indonesia Winner Destinasi Wisata Halal Dunia

Upaya yang tidak kenal lelah dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan bersama dengan para pemangku kepentingan, pelan namun pasti pelayaran menuju samudra biru Industri Halal mulai terlihat. Jumlah masjid, restoran/halal food court, dan e-commerce halal terus mengalami peningkatan. Tiga lembaga sertifikasi halal Korea telah mendapatkan pengakuan oleh JAKIM Malaysia, sedangkan dua dari tiga lembaga (KMF & KHA) telah mendapatkan Mutual Recognition Agreement (MRA) dari BPJPH Indonesia dalam event H-20 di Jakarta pada November 2023.

Namun, Korea Selatan menghadapi berbagai tantangan dalam upayanya menjadi pemain penting di industri halal global. Selain keterbatasan pemahaman (literasi) halal dan persaingan ketat pasar internasional, hambatan terberat sesungguhnya terjadi karena resistensi lokal akibat Islamofobia. Berikut beberapa resistensi masyarakat lokal yang dihadapi pemerintah Korea:

Pembangunan Halal Center di Kota Iksan

Pada tahun 2015, semasa pemerintahan Presiden Park Geun-hye, pemerintah mengusulkan pembangunan Halal Center atau pusat halal di kota Iksan, Provinsi Jeolla Utara, dengan tujuan untuk mempromosikan industri makanan halal dan menarik wisatawan Muslim. Namun rencana ini gagal.

Proyek ini mendapat penolakan yang signifikan dari masyarakat lokal. Mereka khawatir bahwa keberadaan pusat halal akan mengubah dinamika sosial dan karakter lokal, serta menyebabkan ketidaknyamanan bagi penduduk setempat yang mayoritas non-Muslim. Beberapa warga bahkan mengadakan protes untuk menolak proyek tersebut.

Dua Peristiwa Gangwon

Tahun 2017 menjadi tahun peralihan kepemimpinan tertinggi Korea Selatan. Kebijakan halal yang diprakarsai pemerintah Park Geun-hye ditarik dan batal direalisasikan menyusul pemakzulan dirinya pada bulan Maret atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Di bawah estafet kepemimpinan Presiden Moon Jae-in, strategi pasar halal Korea Selatan senyap dan nyaris menghilang. Presiden Moon menghindari tantangan yang muncul akibat sentimen Islamofobia dengan tidak menggunakan kata “Islam” atau “halal” dalam “New Southern Policy” yang menargetkan konsumen Asia Tenggara (Ikran Eum, 2019).

Pada tahun 2017, setidaknya ada dua peristiwa yang berkaitan dengan Islam dan Industri Halal di Provinsi Gangwon. Peristiwa pertama adalah rencana pemerintah Provinsi Gangwon untuk membangun Zona Halal, sebagai tempat bagi produsen daging dan restoran bersertifikat halal. Namun pemerintah provinsi tersebut akhirnya menyerah pada penolakan keras dari kelompok anti-Muslim (Kim Se-jeong, 2014).

Peristiwa kedua adalah perselisihan pemerintah Provinsi Gangwon dengan beberapa warga Kristen dalam upaya mereka menjadi tuan rumah pagelaran World Islamic Economic Forum (WIEF) pada 2018. Upaya yang dilakukan Provinsi Gangwon bertahun-tahun untuk menjadi tuan rumah pertemuan tahunan para pebisnis dari negara-negara Islam ini pun gagal.

Berita terkait  Stabilitas atau Pertumbuhan?

Aliansi anti-Muslim lokal dari kelompok Kristen Konservatif ini mengkhawatirkan kebijakan ramah Muslim di provinsi itu akan memungkinkan banyak Muslim masuk ke Korea, yang dapat meningkatkan risiko terorisme dan mengancam keamanan nasional.

Pembangunan Musholla pada Olimpiade Winter 2018

Rencana pembangunan musholla (prayer room) untuk pengunjung Muslim di Olimpiade Musim Dingin PyeongChang di Gangneung dibatalkan setelah menghadapi kritik keras dari kelompok anti-Muslim. Kelompok ini mengumpulkan lebih dari 56.000 tanda tangan di situs web mereka untuk menentang proyek tersebut, dengan alasan bahwa keberpihakan pemerintah pada satu agama akan memecah belah warga dan khawatir akan pengaruh “Muslim fundamentalis” yang berdampak pada keamanan nasional (Ko Dong-hwan, 2018).

Korea Times melaporkan bahwa kelompok tersebut menghubungkan keputusan Pemerintah Provinsi Gangwon dan panitia penyelenggara Olimpiade yang sebelumnya berupaya merealisasikan sistem keuangan Syariah, kota halal, dan tempat pemotongan hewan halal di wilayah tersebut. Mereka juga menyatakan kekhawatiran bahwa peningkatan investasi dari negara-negara Timur Tengah dapat membawa perubahan budaya lokal Korea.

Pembangunan Masjid di Daegu

Protes paling mencolok terjadi di Daegu pada tahun 2020. Komunitas mahasiswa Muslim Universitas Nasional Kyungpook yang telah membeli sebuah rumah di dekat kampus sejak 2014 dan dijadikan sebagai tempat sholat bersama yang diberi nama “Darul Iman” bermaksud membangun ulang menjadi layaknya sebuah bangunan masjid. Meskipun pembangunan telah mendapatkan izin dari kantor distrik setempat, warga memprotes dengan memajang kepala babi di jalan menuju lokasi masjid. Insiden ini menyoroti sentimen anti-Muslim yang kuat dan resistensi terhadap simbol-simbol Islam di komunitas lokal. Pertikaian ini berlangsung selama tiga tahun.

Kesimpulan

Pengembangan Industri Halal di Korea Selatan terjadi karena dua hal kontradiktif: pemerintah yang ingin mengatasi masalah ekonomi dan melihat Industri Halal sebagai samudera biru dengan pertumbuhan yang besar, sementara sebagian masyarakatnya memandang bahwa Islam dan Industri halal sebagai ancaman yang akan mengubah dinamika sosial, karakter dan budaya lokal. Untuk menghadapi tantangan ini, pemerintah Korea Selatan perlu mengadopsi pendekatan yang holistik dan inklusif. Hal ini tentu melibatkan langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi dari industri halal dapat diraih tanpa menimbulkan ketegangan sosial dan budaya yang signifikan.

*Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Geotimes.id pada Jumat, 9 Agustus 2024. Direpublikasi untuk tujuan pembelajaran.

Related Posts
Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *