Ekonomi Kurban di Tengah Wabah PMK

Ekonomi Kurban di Tengah Wabah PMK

Oleh: Rahmatina Awalia Kasri-Pengurus Pusat MES/Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI

Saat ini, kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia berangsur membaik. Namun, dalam masa transisi dari pandemi menuju endemi ini dan menjelang pelaksanaan ibadah kurban, masyarakat dikejutkan dengan wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menjangkit hewan ternak di Indonesia.

Data dari Siagapmk.id menunjukkan bahwa  per 1 Juli 2022 hewan kurban yang terkonfirmasi terkena PMK di Indonesia mencapai 298,768 ekor yang tersebar di 19 provinsi dan 223 kabupaten/kota. Dari total tersebut, 99,030 ekor (33%) telah sembuh dan 1,774 ekor (0.05%) mati. Sementara yang belum sembuh mencapai 195,351 ekor dan yang telah divaksin 174,788 ribu ekor. Wabah PMK ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi rantai pasok daging kurban sehingga berdampak signifikan pada pelaksanaan ibadah kurban.

Saat ini, isu PMK telah menimbulkan defisit ketersediaan hewan kurban di berbagai daerah. BAZNAS (2022) memperkirakan bahwa kebutuhan hewan ternak pada Idul Adha 2022 diperkirakan naik 6% menjadi 1,72 juta ekor dari kebutuhan tahun lalu yaitu 1,64 juta ekor. Namun, terdapat 71 kabupaten/kota yang mengalami defisit daging dan 441 kabupaten/kota lainnya mengalami surplus daging.

PMK yang terjadi membuat pergerakan hewan kurban diminimalisasi agar tidak terjadi penyebaran yang semakin luas, sehingga menyebabkan daerah defisit tetap mengalami defisit dan sebaliknya. Keberadaan wabah ini juga dikhawatirkan menurunkan minat masyarakat untuk berkurban, sehingga dampak ekonomi kurban tidak optimal. Menurunnya minat masyarakat bisa menyebabkan peternak dan pengusaha daging terancam dan rugi usahanya.

Permasalahan PMK yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kurban perlu segera ditangani, karena ibadah kurban memiliki dampak sistemis terhadap perekonomian tidak hanya bagi pihak yang terlibat langsung dalam prosesi kurban tetapi juga pihak lain yang terlibat secara tidak langsung. Selain itu, kebaikan dari ibadah kurban tidak hanya pada level individu dan komunitas, tetapi juga pada level makro baik sebagai social capital maupun pendukung program pemerintah.

Dalam aspek sosio-ekonomi, ibadah kurban dapat dilihat sebagai bagian dari gerakan pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Dengan adanya ibadah kurban, banyak masyarakat miskin di pelosok Indonesia yang akhirnya bisa mengonsumsi daging. Selain itu, permintaan hewan di periode ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan peternak lokal karena mereka bisa menaikkan jumlah produksi dan menjual ternaknya dengan harga lebih layak.

Berita terkait  Gerakkan Ekonomi dengan “One Pesantren One Product”

Ibadah kurban juga bisa mendorong terjadinya perputaran dana dan penguatan pemberdayaan ekonomi masyarakat, termasuk di sektor bahan pelengkap olahan daging kurban dan pedagang dan UMKM di bidang pangan. Hasil studi Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEB UI tahun 2018 menunjukkan bahwa per tahunnya ada perputaran dana sebesar Rp 69,9 triliun atau setara dengan 3,8% APBN 2022 selama pelaksanaan ibadah kurban di Indonesia.

Dalam jangka panjang, ibadah kurban dapat berkontribusi dalam peningkatan dan penjagaan ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Pelaksanaan kurban juga bisa mendorong pemberdayaan peternak domestik sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Selain itu, pelaksanaan kurban yang tersistematis berpotensi memperkuat ekosistem ekonomi kurban yang lebih bermanfaat baik secara sosial, ekonomi, maupun spiritual.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dicermati dan dilakukan agar ekonomi kurban bisa terus berjalan dengan baik bahkan di tengah wabah PMK. Pertama, perlu penanganan wabah PMK yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih efektif di mana pemerintah harus memastikan dan menjamin semua hewan kurban terbebas dari PMK sehingga masyarakat bisa menjalankan ibadah kurban dengan tenang.

Belum lama ini, pemerintah telah membentuk Satgas PMK, yang salah satu tugasnya adalah mengatur dan membatasi pergerakan ternak. Namun, hal ini bisa berdampak pada meningkatnya gap antara daerah yang surplus dan defisit hewan kurban. Sehingga, perlu kebijakan lanjutan untuk mengurangi gap ini. Selain itu, pemasangan tanda/tag khusus pada hewan kurban yang sehat juga diperlukan untuk membedakan dan menurunkan risiko penyebaran antar hewan kurban.

Langkah-langkah untuk mencegah penyebaran PMK, seperti vaksinasi untuk semua hewan ternak, juga perlu dilakukan. Pemerintah bisa memberikan vaksinasi gratis atau mendorong peternak skala besar untuk melakukan vaksin mandiri. Selanjutnya, pemerintah perlu memperhatikan kebijakan impor daging agar potensi masuknya wabah PMK dari luar negeri dapat berkurang dan Indonesia kembali bebas PMK.

Dalam penanganan PMK ini, perlu diapreasiasi gerak cepat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementrian Agama. MUI telah menerbitkan Fatwa No.32/2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat Kondisi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Namun, sosialisasi kepada masyarakat perlu dilakukan secara lebih masif dan lebih luas agar masyarakat tidak terlalu cemas dengan kondisi yang terjadi.

Berita terkait  Ketua Dewan Pakar MES Ungkap Strategi “MES TOP” Wujudkan Ekosistem Global Halal Hub di Indonesia

Kedua, agar gap antara daerah surplus dan defisit hewan kurban bisa berkurang, perlu inovasi dalam pelaksanaan program kurban. Dalam hal ini, kurban online bisa menjadi salah satu solusi.  Kurban online membuat siapa pun dan di mana pun bisa menunaikan ibadah kurban tanpa harus keluar rumah dengan kemudahan dan kenyamanan melalui telepon genggam. Selain itu, kurban online bisa memperluas distribusi daging kurban sehingga bisa menjangkau wilayah yang lebih luas.

Saat ini, sudah banyak Lembaga yang menjalankan Program Kurban Online, seperti BAZNAS, Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat. Dalam pelaksanaannya, keamanan hewan kurban akan lebih terjamin, baik dengan pendampingan ketat maupun pencegahan penularan PMK. Selain itu, daging kurban olahan bisa dikemas dalam bentuk kaleng untuk memudahkan proses pendistribusian daging dan agar menjangkau daerah yang sulit.

Namun demikian, sebagian masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa kurban harus dilaksanakan secara tradisional, di mana pekurban harus menyaksikan secara langsung hewan kurbannya disembelih dan dibagikan ke sekitarnya. Padahal, secara fikih, sebenarnya kurban tidak harus disaksikan langsung oleh pekurban. Bahkan, jamaah haji dapat dikatakan tidak pernah melihat sendiri hewan kurbannya.

Selain itu, literasi masyarakat yang masih terbatas terkait hukum pelaksanaan kurban secara online dan aturan terkait pendistribusian dalam bentuk daging kurban olahan juga menjadi tantangan besar. Untuk itu, perlu adanya sosialisasi dan edukasi yang lebih masif terkait kurban online serta transparansi seluruh penyedia jasa program ini.

Terakhir, perlu dilakukan optimalisasi ekonomi kurban dengan skema supply chain dan pemberdayaan yang lebih integratif. Ke depan, supply chain ekonomi kurban seharusnya tidak hanya mencakup perpindahan hewan ternak dari peternak sampai ke konsumen, tetapi mencakup juga manfaat (impact) serta menggunakan dukungan teknologi.

Kemajuan teknologi dan keterbukaan sistem informasi yang semakin terintegrasi akan mendorong terciptanya sistem kurban yang lebih optimal, sehingga bisa mengoptimalkan manfaat dari distribusi daging kurban dan memberikan dampak ekonomi yang berkesinambungan.

Sehingga, wabah PMK yang terjadi tidak seharusnya membuat potensi ekonomi kurban berkurang. Kegiatan ibadah kurban yang akan dijalankan nanti justru diyakini dapat turut berkontribusi dalam proses transisi dari pandemi menuju endemi serta dapat memberikan maslahat yang besar bagi seluruh masyarakat. Inshaallah.  

Editor: Pimgi Nugraha

Related Posts
Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *