Fintech Syariah; Timbangan Maqoshid Syariah

Fintech Syariah; Timbangan Maqoshid Syariah

Oleh: Ribut Nur Huda – Ketua Dewan Pakar Pengurus Wilayah Khusus MES Sudan

Dunia digital makin meluas dan mendalam di semua dimensi kehidupan, termasuk ekonomi dan keuangan. Hal ini menuntut perluasan cara pandang dan pendalaman bacaan terhadap nash, kaidah, dan maqoshid syariah. Terlebih dunia digital telah melahirkan teknologi baru penyimpanan seperti blockchain yang jauh melampaui cara pikir tradisional dan linear (non-disruptive) masyarakat. Cukup disayangkan jika dinamika perubahan ini belum banyak ditanggapi oleh umat Islam. Sebelum pandemi COVID-19, lebih dari setengah populasi dunia yang sebagian besar tinggal di negara berkembang belum mendapatkan akses internet.

Namun, perubahan terjadi saat pandemi di mana mayoritas kegiatan perekonomian di dunia mengalami pembaharuan dan menggerakkan teknologi komunikasi dalam skala besar. Sebelum tahun 2019, Bank Dunia menyebut ada 25 negara berkategori paling minim melakukan interaksi via internet dan 21 negara di antaranya berada di benua Afrika. Namun memasuki tahun 2019, pengguna internet di Afrika terutama kawasan Arab mengalami kenaikan paling drastis sekaligus dramatis di dunia. Hingga saat ini pengguna internet di dunia mencapai lebih dari 40% dari jumlah penduduknya.

Sebagai tuntutan sikap akomodatif terhadap financial technology (fintech) ini, Islam memiliki kendali yang disebut dengan maqoshid syariah (tujuan syariah). Dengan kendali ini, fintech diarahkan untuk tetap dalam koridor syariah alias aman dari penyimpangan praktik ekonomi dari tujuannya  sebagaimana lazim diketahui oleh kalangan ulama, mufti, pengkaji agama, hakim, ataupun  pejabat pada umumnya. Analoginya, jika manusia diciptakan untuk menyembah Allah serta memakmurkan bumi-Nya, malaikat diciptakan murni taat kepada-Nya, alam (dunia dan akhirat) diciptakan untuk menjadi ujian amal hamba-Nya maka syariat Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-Nya secara sempurna mulai dari agama, akal, jiwa, harta, dan harga dirinya.

Kemaslahatan ini kemudian menjadi bahasan maqoshid syariah. Tidak hanya itu, fenomena fintech setidaknya menjadi bagain dari tantangan baru dalam menjaga harta titipan Allah Swt. sesuai prinsip maximizing utility (MU), yaitu memudahkan rakyat. Dengan kata lain, maqhosid syariah menempati posisi sebagai kendali sistem (madzhab ekonomi Islam) yang harus dijadikan acuan gerak desentralisasi fintech dengan ketelitiannya yang tinggi, tingkat kemudahan, dan keamanannya dalam menyediakan akses dunia luar, serta potensinya untuk mandiri alias tanpa keterlibatan unsur birokrasi. 

Berita terkait  Kinerja Apik, BSI Melesat Jadi Bank Terbesar Keenam di Indonesia

Setiap hukum yang dihasilkan dari pertimbangan maqoshid syariah harus selaras dengan koridor nash (rujukan primer Islam), alam dan manusia, atau setidaknya tidak bertentangan satu dengan yang lain. Selain itu, penggunaan fintech di semua sektor harus berkontribusi riil pada penguatan nilai, manusia, dan alam (ekosistem), atau paling tidak  menghindari berbagai kontribusi simbolis, dramatis, dan formalitas yang tidak menyentuh critical point yang perlu diselesaikan terkait adanya resiko dan kerawanan pengguna fintech. Dengan kata lain, penggunaan fintech butuh keseriusan niat dan tujuan penggunanya sebagai bentuk sikap beragama. Dalam hal ini, ulama mengemban tanggung jawab untuk menunjukkan titik-titik rawan agar umatnya tidak terjerumus pada lubang rekayasa atau transaksi ilegal menurut syariah, di samping menunjukkan kadar risiko positif dan negatif (fikih ma’aalaat) yang akan terjadi bagi individu, masyarakat, dan negara dalam jangka pendek, menengah, maupun  panjang.

Tentu ulama tidak sendirian dalam mengemban tugas berat ini. Syekh bin Bayyah dalam kitabnya Maqhosidul Mu’amalah menyarankan para pengkaji ekonomi Islam agar berbagi pikiran dengan para ahli, pelaku pasar, dan ekonom positivistik untuk memahami masalah kontemporer menurut realitas sebenarnya, sebelum mengategorikan masalah dalam timbangan fikih dan menetapkan dalil yang akurat.

Analisa risiko penggunaan fintech diperlukan karena kondisinya yang banyak mengandung tantangan dan kerawanan, yaitu; lingkungan yang belum kondusif karena masih banyak orang yang tidak menghendaki transaksi digital, ketidaktahuan terhadap seluk beluk teknologi (pasar) digital,  ketiadaan atau kelemahan perlindungan atau penerapan regulasi ditambah ketiadaan perantara atau pengacara, inflasi akibat jatuhnya keseimbangan antara penarikan dan pembayaran, laju teknologi yang menuntut perubahan sistem, pola pemberlakuan surat jaminan elektronik, ketidakjelasan realisasi akad yang mengancam hak salah satu pihak, ketidakpastian salah satu pihak dalam penerapan syariat, ketiadaan Bank Sentral yang khusus melakukan pengawasan melalui e-banking, resiko kejahatan siber terhadap pengguna fintech, serta kerawanan dan tantangan umum lainnya seperti kemungkinan adanya penyusup atau operasi intelijen oleh negara maju terhadap negara-negara muslim dan negara-negara dunia ketiga. Namun demikian, hal yang menjadi fokus utama  bukan ada atau tidaknya risiko, melainkan kalkulasi risiko menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Berita terkait  Ketua IV Pengurus Pusat MES Terpilih Jadi Anggota Dewan Komisioner OJK

Fenomena fintech yang telah menyebar luas seiring meluasnya akses internet di masa pandemi tidak hanya menuntut sikap keagamaan secara reaksioner dalam arti mencari hukum realitas yang muncul, melainkan juga secara konstruktif, mencari hukum meng-create realitas-realitas baru yang bermanfaat. Pertimbangan awal, jelas bahwa fintech telah terbukti memberikan banyak fasilitas kenyamanan mulai dari biaya yang lebih hemat, spesifikasi lebih fleksibel terhadap kondisi pekerja, kecepatan pelayanan maksimal, daya penyebaran melintasi  batas geografi, hingga kemudahan pelanggan dalam membandingkan layanan dan harga. Tidak heran jika pada tahun 2021, Mashreq Bank di Emirat Arab yang memiliki 34 kantor cabang terpaksa menutup 24 kantor cabangnya dan menyisakan 10 kantor. Direktur Eksekutif Mashreq Bank, Ahmed Abdel Aal memprediksi bahwa seiring berjalannya waktu seluruh cabang perbankan yang masih tradisional akan tutup dan dipusatkan pada layanan e-banking

Pada tahun 2018, Bank Dunia telah memberikan arahan kepada Pemerintah dan Bank Sentral seluruh negara di dunia agar menerapkan model perkembangan cepat teknologi keuangan. Jauh sebelum itu, di tahun 2008, volume investasi bidang fintech di Amerika Serikat mencapai angka USD930 juta dan di tahun 2015 naik hingga 2.200%, yaitu sebesar USD12 miliyar. Kenaikan seperti ini juga terjadi di mayoritas negara maju. Pijakan maqoshid syariah dalam merespon ledakan teknologi ini adalah prinsip (kaidah) “merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemudaratan”. Fintech sebagai fenomena transaksional memerlukan prinsip: “hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan hingga terdapat dalil yang melarangnya”. Hal ini merupakan bentuk kelonggaran.

Jika sebelumnya transaksi dilakulan secara manual maka transaksi saat ini boleh dilakukan secara digital. Di antara praktiknya, jika dalam satu persoalan antara manfaat dan mudaratnya sebanding maka bisa diberlakukan hukum asal ini. Namun, hukum boleh bisa berubah menjadi haram disebabkan oleh situasi dan kondisi yang ada atau adanya risiko negatif setelah ditimbang melalui fikih futuristik (fikih ma’aalaat) atau transaksi itu menjadi perantara terjadinya kemudaratan sebagaimana jika ditimbang dengan fikih antisipatif (sad dzara’i).

Sumber Gambar: Unsplash.com

Related Posts
Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *