Oleh: Muhammad Musa
Seiring dengan kemajuan zaman, dunia keuangan kini mengikuti perkembangan teknologi yang disebut Financial Technology (fintech). Semula teknologi ini dimulai dengan istilah startup. Karena startup merupakan model bisnis tahapan uji coba, sedangkan financial technology merupakan hasil dari proses penyempurnaan.
Dengan adanya perkembangan tersebut, harapannya proses transaksi keuangan menjadi lebih praktis dan modern. Pada era fintech, telah hadir beberapa layanan seperti payment channel system, digital banking, online digital insurance, peer to peer (P2P) lending dan layanan crowdfunding.
Praktik transaksi fintech yang marak dipromosikan melalui kanal media sosial adalah fasilitas pinjaman online atau pinjol. Bentuk pinjaman online ini beragam yang disesuaikan dengan kebutuhan dari setiap masyarakat. Kehadiran pinjaman online sejauh ini dianggap efektif dalam menyelesaikan masalah keuangan masyarakat, namun pada perkembangannya praktik pinjaman online menjadi meresahkan akibat hadirnya praktik pinjaman online ilegal dengan beban bunga (riba) yang begitu mencekik. Hal ini juga diperparah dengan penyalahgunaan privasi nasabah dan teror yang dilakukan oleh pelaku bisnis penyedia layanan pinjaman online tersebut.
Aspek Hukum
Dalam hal ini, pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap layanan pinjaman online tersebut. Mengingat adanya ketidak seimbangan antara tingkat inklusi dengan tingkat literasi masyarakat. Perlu diketahui untuk saat ini, tingkat literasi masyarakat Indonesia masih rendah, yaitu sebesar 38,03% atau setengah dari indeks inklusinya yang berada di angka 76,19%. Dengan kata lain, setengah dari masyarakat Indonesia yang memiliki akses pada produk layanan keuangan masih banyak yang belum paham akan produk keuangan itu sendiri, terutama yang terkait dengan legalitas fintech yang memberikan akses pada produk layanan keuangan tersebut.
Bermunculannya pinjaman online ilegal belakangan ini layaknya “cendawan” di musim hujan, membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan filterisasi secara ketat guna mengantisipasi dampak kerugian yang nantinya akan dialami masyarakat. Sebagaimana berita yang dilansir melalui situs resmi OJK, bahwa Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi yang beranggotakan 13 kementerian dan lembaga tersebut, di awal tahun 2021 ini telah menemukan 133 platform fintech peer to peer lending ilegal dan 14 kegiatan usaha tanpa izin yang berpotensi merugikan masyarakat. Satgas Waspada Investasi dari OJK telah menemukan 133 Fintech Peer-To-Peer Lending dan 14 Entitas Penawaran Investasi Tanpa Izin.
Sejak tahun 2018 hingga Januari 2021, Satgas sudah menutup sebanyak 3.056 fintech lending ilegal. Sementara dari 14 entitas investasi ilegal yang ditindak pada awal tahun ini, di antaranya melakukan kegiatan sebagai berikut:
- 2 perdagangan berjangka komoditi (PBK) tanpa izin;
- 3 cryptocurrency tanpa izin;
- 3 koperasi tanpa izin;
- 2 penjualan langsung tanpa izin; dan
- 4 kegiatan lainnya.
Terkait pinjaman online tersebut, OJK telah menetapkan peraturan atau regulasinya. Pengusaha di bidang fintech harus bisa menyelenggarakan usahanya tidak seorang diri. Perusahaan fintech merupakan perusahaan yang usahanya bergerak dalam bidang intermediasi keuangan. Artinya dalam usaha ini, pihak penyelenggara jasa membutuhkan pihak ketiga yang ikut bekerja sama dalam usaha tersebut.
Perusahaan fintech harus berbentuk perseroan terbatas atau koperasi. Penyebutan lembaga fintech-nya pun juga berbeda dengan yang lain, di mana penyebutannya masuk dalam Lembaga Jasa Keuangan Lainnya sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016.
Sekalipun telah berbentuk badan usaha, penyelenggara fintech harus memenuhi beberapa syarat sebelum bisa mendapatkan izin usaha dari OJK. Syarat tersebut antara lain kriteria minimum jumlah modal yang harus dimiliki oleh perusahaan fintech, yaitu senilai Rp2.500.000.000. Persyaratan mengenai kriteria badan usaha penyelenggara fintech ini dijelaskan dalam Pasal 4 POJK Nomor 77 tahun 2016.
Selanjutnya penyelenggara harus melengkapi persyaratan lainnya yang dituangkan dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Apabila semua persyaratan terpenuhi, berikutnya perusahaan fintech harus segera mendaftar ke OJK sebagai bentuk kewajiban pengusaha kepada negara. Proses pendaftaran ini sebagai salah bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada rakyat. Persyaratan tersebut merupakan salah satu filter untuk mencegah kegiatan fintech ilegal.
Selain itu, POJK juga memberikan aturan mengenai pembatasan jumlah pinjaman yang diberikan. Pembatasan pinjaman yang diberikan oleh Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang dijalankan dengan basis teknologi informasi dibatasi sebesar Rp2.000.000.000. Pembatasan ini disebutkan dalam Pasal 6 POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Pinjaman dibatasi sebagaimana jumlah dimaksud bertujuan untuk menjaga keamanan dari penyelenggara fintech.
Bentuk perlindungan hukum lainnya yang diberikan oleh negara kepada rakyat atas usaha fintech adalah melalui adanya dokumen elektronik. Isi dari dokumen elektronik tersebut sama dengan isi perjanjian pada umumnya, yaitu mengenai nomor, tunggal, identitas para pihak, hak dan kewajiban para pihak, jumlah pinjaman, suku bunga, nilai angsuran, jangka waktu, objek jaminan, rincian biaya terkait, ketentuan mengenai denda jika ada dan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 20 POJK Nomor 77/POJK.01/2016.
Dokumen elektronik yang dimiliki oleh penyelenggara harus dijaga sebaik-baiknya dengan menggunakan tata kelola informasi elektronik yang benar. Tidak hanya itu, harus diperhatikan juga mengenai bagaimana standar minimum sistem teknologi informasi dan risiko teknologi lainnya yang mungkin saja terjadi di masa yang akan datang. Meski demikian, penyelenggara diperbolehkan untuk melakukan pertukaran informasi dengan pihak-pihak yang diajak bekerja sama dengan penyelenggara. Ini sesuai dengan Pasal 25 hingga Pasal 28 POJK Nomor 77/POJK.01/2016.
Pemerintah terus berbenah diri, terutama memberikan aturan langsung dari OJK selaku pengawas dalam kegiatan yang dilakukan oleh lembaga keuangan. Hal ini terbukti dengan adanya bab tersendiri terkait edukasi dan perlindungan pengguna layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi.
Aspek Syariah
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah, yaitu Nomor 117/DSN-MUI/II/2018, bahwa layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah merupakan penyelenggaraan layanan jasa keuangan yang didasarkan atas prinsip syariah yang menghubungkan antara pemberi pembiayaan dengan penerima pembiayaan untuk melakukan akad pembiayaan melalui sistem elektronik dengan bantuan jaringan internet. Pengertian layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi dengan prinsip syariah artinya bahwa dalam melakukan pembiayaan harus disesuaikan dengan prinsip syariah sehingga terhindar dari adanya hal-hal yang dilarang dalam syariah, seperti adanya riba, gharar, bathil, dan dzulm yang semuanya berdampak buruk bagi salah satu pihak.
Subjek hukum yang melakukan kegiatan layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi adalah penyelenggara, penerima pembiayaan, dan pemberi pembiayaan. Akad yang digunakan dalam transaksi layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi dengan prinsip syariah adalah ijarah, bai’, musyarakah, mudharabah, qardh dan wakalah bil ujrah. Karena semua menggunakan sistem elektronik maka dibutuhkan adanya tanda tangan elektronik dan sertifikat elektronik yang terjamin baik autentikasinya ataupun validitasnya. Pengenaan biaya menggunakan sistem ujrah dibolehkan asal disesuaikan dengan prinsip ijarah. Biaya operasional teknologi finansial didapatkan dari fee (ujrah) yang dibebankan kepada konsumen karena telah menggunakan jasa dari penyelenggara layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah.
Macam-macam model layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi meliputi pembiayaan anjak piutang, pembiayaan pengadaan barang untuk online reseller, pembiayaan pengadaan barang pesanan untuk pihak ketiga (purchase order), pembiayaan berbasis komunitas, pembiayaan pengadaan barang untuk e-commerce yang melakukan pembayaran dengan sistem payment gateway, dan pembiayaan untuk pegawai. Menurut Fatwa DSN-MUI Nomor 117/DSN- MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah, pembiayaan-pembiayaan di atas merupakan jenis-jenis pembiayaan yang diakui sebagai pembiayaan yang dibolehkan menurut prinsip syariah. Masing-masing pembiayaan memiliki akad yang berbeda satu sama lain.
Peer to peer lending yang dilakukan oleh lembaga fintech syariah merupakan implementasi dari akad wakalah bil ujrah. Jika terjadi akad tambahan berupa investasi maka akad yang dilakukan bisa dengan musyarakah atau mudharabah tergantung kesepakatan dari masing-masing pihak. Prinsip al-ghunmu bi al-ghurmi (bersama keuntungan ada risiko yang ditanggung bersama) harus menjadi landasan utama masing-masing pihak.
Jika terjadi risiko maka dapat dilihat dari penyebabnya. Jika dikarenakan force majeure maka dapat dilakukan pembaharuan akad (tajdidu al-uqud), yang disesuaikan dengan kondisi pada saat itu, seperti pandemi yang dialami dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini. Namun jika penyebabnya adalah wanprestasi, dalam fikih dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kelalaian (taqshir), melampaui batas (al-ta’addi), atau melanggar ketentuan yang telah disepakati (mukhalafatu syuruth) maka nasabah dapat ditetapkan sanksi berupa ganti rugi (ta’widh) atau denda (ta’zir), sesuai besar-kecilnya kerugian yang dialami oleh lembaga keuangan yang memberikan pembiayaan.
Jika peer to peer lending berupa pinjaman maka dalam Islam hal itu merupakan bentuk sosial (tabarru’) yang tujuannya untuk membantu. Dalam tabarru’, tidak ada akad lain kecuali qardh, yaitu pinjaman pokok tanpa mengambil keuntungan dalam pengembalian. Jika mengambil keuntungan, hukumnya haram karena termasuk riba. Memberikan keringanan dalam pembayaran utang bagi yang mengalami kesulitan merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan dalam agama, sedangkan menunda pembayaran padahal mempunyai kemampuan hukumnya haram.
*Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis, dan bukan pendapat dari institusi tempat penulis bekerja.
Muhammad Musa
Pegawai Direktorat Pasar Modal Syariah OJK, Dosen Prodi Perbankan Syariah Universitas Islam Asy-yafi’iyah (UIA), Jakarta, Ketua II PD MES Kota Bekasi
Sumber gambar: Unsplash.com