Oleh : Muhammad Musafak – Ketua Umum PWK MES Korea Selatan Periode 2021-2023
Di era perdagangan global saat ini, sertifikasi halal tidak semata-mata berfungsi sebagai penanda kehalalan produk, melainkan juga mencerminkan pergeseran penting dalam moralitas bisnis. Sertifikasi halal, yang mengacu pada kepatuhan terhadap hukum Islam dalam aspek makanan, minuman, dan produk lainnya, telah berkembang menjadi elemen integral dalam strategi bisnis modern. Strategi ini menunjukkan komitmen terhadap praktik bisnis yang berkelanjutan dan etis.
Fakta bahwa produsen dan konsumen produk halal tidak hanya terkonsentrasi di negara-negara Muslim, mengindikasikan bahwa produk halal dapat diterima oleh berbagai kalangan dan latar belakang agama yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh proses sertifikasi halal yang memastikan transparansi, keamanan, kebersihan, dan etika dalam setiap tahapan produksi dan distribusi.
Regulasi dan Sejarah Lahirnya Sertifikasi Halal
Penetapan halal dan non-halal produk dimulai dengan “Pelabelan Produk yang Mengandung Babi” melalui Permenkes No. 280/Men.Kes/Per/XI/1976. Regulasi berkembang dengan “Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan” melalui SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 42/Men.Kes/SKB/VIII/1985. Peraturan disempurnakan dengan berdirinya LPPOM MUI berdasarkan SK MUI No: Kep./18/MUI/I/1989, yang berfokus pada pemeriksaan produk halal atau Sertifikasi Halal.
Sertifikasi Halal kemudian menjadi tanggung jawab bersama antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang menetapkan kehalalan produk melalui fatwa halal dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama yang bertugas menerbitkan sertifikat halal tersebut sebagai bentuk administrasi hukum agama ke hukum negara.
Lahirnya sertifikasi halal tidak bisa dipisahkan dari laporan riset seorang dosen Universitas Brawijaya, Dr. Ir. Tri Susanto dalam buletin Canopy edisi Januari 1988 yang diterbitkan Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang yang mengungkap adanya kandungan lemak babi dalam sejumlah produk makanan dan minuman. Penelitian ini menemukan bahan baku seperti gelatin, shortening, lecithin dan lemak yang kemungkinan berasal dari babi (Aryo. PS, 2022). Untuk merespon keresahan masyarakat dan sebagai preventive action (pencegahan), MUI kemudian mendirikan LPPOM pada 6 Januari 1989.
Persepsi Masyarakat Tentang Halal
Kita tidak menafikan munculnya persepsi yang berkembang di masyarakat dan pelaku usaha bahwa produk mereka secara inheren atau esensial sudah halal dan diterima sebagai halal oleh konsumen tanpa memerlukan sertifikasi formal. Lingkungan kita yang mayoritas Muslim telah lama membentuk reputasi atau tradisi lokal ini. Pertanyaan menggelitik yang kemudian perlu dijawab adalah “mengapa sih kita masih membutuhkan sertifikasi halal?”
Jika kita flash back, sejumlah kasus telah melukai banyak hati konsumen di negeri ini, sebut saja penggunaan alkohol dan bahan tidak halal pada produk kecap dan saus (2001), kasus pasta babi di restoran Jakarta (2003), bakso babi Cipete (2012), kontaminasi babi pada olahan daging di Jogja hasil Riset UGM (2013-2014), campuran daging babi pada produk abon dan dendeng (2020), pemalsuan daging sapi dengan daging celeng di Bandung (2020), rendang babi (2020, 2022), dan yang terbaru kasus wine Nabidz (2023).
Mengejar keuntungan finansial secara instan melatarbelakangi seseorang untuk melakukan kecurangan dalam perdagangan dan bisnis, seperti mengganti atau mencampur daging sapi dengan babi. Membunuh nuraninya dan merelakan kepentingan pelanggan karena dorongan keserakahan dan kurangnya integritas.
Tindakan ini tidak hanya melanggar prinsip-prinsip etika bisnis dan hukum agama, tetapi juga merusak kepercayaan konsumen dan integrasi pasar secara keseluruhan. Dengan mengabaikan nilai-nilai moral dan tanggung jawab sosial, pelaku kecurangan ini menempatkan keuntungan pribadi di atas keamanan dan kepercayaan masyarakat, yang pada akhirnya dapat merusak reputasi dan keberlanjutan bisnis mereka sendiri.
Nah, kepatuhan para pelaku usaha dalam sertifikasi halal diharapkan menjadi kontribusi positif bagi keselamatan konsumen dan mampu mereduksi kasus-kasus serupa saat ini dan di masa mendatang. Kesadaran harus dibangun bersama, bahwa bisnis bukanlah tentang sekedar mengejar target, omset dan profit semata. Lebih dari itu bisnis semestinya memiliki value “keberkahan” dengan menyertakan kejujuran sebagai tanggung jawab moral terhadap Tuhan dan konsumen-nya.
Transparansi dalam Bisnis
Transparansi dalam bisnis atau niaga telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ribuan tahun yang lalu, di mana beliau selalu mengatakan dengan jujur kualitas produk yang dijual dan tidak pernah mengurangi timbangan (ukuran dan berat produk). Prinsip kejujuran dan integritas ini membangun kepercayaan dan reputasi yang kuat di antara para pelanggan.
Dalam bisnis modern, transparansi tetap menjadi pilar penting yang membangun loyalitas konsumen dan keberlanjutan bisnis. Penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang berkomitmen pada transparansi cenderung memiliki kinerja lebih baik dan hubungan jangka panjang yang positif dengan pelanggan. Meneladani praktik transparansi dan kejujuran Rasulullah SAW tidak hanya sejalan dengan etika, tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap kesuksesan bisnis di era modern dengan mempertahankan identitas budaya dan religiusitas sekaligus.
Peran Pemegang Regulasi Halal
BPJPH sebagai regulator sertifikasi halal memiliki peran krusial dalam membangun ekosistem halal yang terintegrasi. Kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan organisasi keagamaan diperlukan untuk memastikan seluruh rantai produksi dan distribusi memenuhi standar halal yang ketat, mendukung efisiensi dan inovasi dalam ekosistem halal.
Sosialisasi ke pasar tradisional sangat penting untuk memperluas pemahaman prinsip-prinsip halal, terutama di kalangan usaha kecil dan menengah. Edukasi terhadap Juru Sembelih Halal (Juleha) tentang penyembelihan hewan sesuai syariat Islam perlu ditingkatkan melalui pelatihan dan pendampingan, memastikan standar halal, kebersihan, kualitas produk, dan kesejahteraan (hak hewan) terpenuhi. BPJPH dapat memberikan sertifikasi gratis bagi Juleha sebagai bagian dari strategi halal.
Tantangan dalam penerapan sertifikasi halal, seperti biaya, pemahaman yang terbatas, dan resistensi dari beberapa pelaku usaha, bisa diatasi dengan pendekatan strategis. Program stimulasi seperti akselerasi 10 juta sertifikasi halal yang dilakukan BPJPH saat ini perlu terus ditingkatkan kuota dan pencapaiannya. Didukung dengan penyebaran informasi melalui media massa dan platform digital untuk mencapai jangkauan yang lebih luas dan efektif.
Perusahaan riset pasar “Dinar Standard” berdasarkan SGIE melaporkan, umat Islam di seluruh dunia diperkirakan akan menghabiskan USD 2,8 triliun untuk kebutuhan makanan, obat-obatan, kosmetik, fesyen, perjalanan, dan media pada tahun 2025, dengan tingkat pertumbuhan kumulatif (CAGR) sebesar 7,5 persen (Shafaki, 2022).
Menghadapi peluang besar produk halal di pasar internasional, memperluas kerja sama dengan badan sertifikasi halal global dapat meningkatkan pengakuan dan kepercayaan terhadap produk halal Indonesia, seperti terjadinya penandatanganan Mutual Recognition Agreement (MRA) antara BPJPH dengan 37 LHLN pada gelaran H-20 November di Jakarta tahun lalu. Teknologi digital perlu dimanfaatkan untuk memudahkan proses sertifikasi dan akses informasi bagi para pelaku usaha, sehingga meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem sertifikasi halal.
Kesimpulan
Sertifikasi halal menjadi salah satu elemen kunci dalam moralitas bisnis di era modern. Dengan memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah dan standar etika yang tinggi, sertifikasi halal tidak hanya memenuhi kebutuhan religius konsumen Muslim tetapi juga menegakkan nilai-nilai keberlanjutan, inklusi, dan kepercayaan. Dalam konteks globalisasi, sertifikasi halal bisa dilihat sebagai cara untuk mempertahankan identitas budaya dan religius dalam arus ekonomi global yang semakin homogen.